03 November 2014

Menuju “Puncak” Merapi




            Gunung Merapi yang terletak di dua propinsi dan dikelilingi empat kabupaten, menjadi gunung yang sering terlihat bagi kami pengamat burung yang sering melakukan pengamatan di Lereng Gunung Merapi. Saya salah satu orang yang mengaku sebagai pengamat burung sering melihat Gunung Merapi dari kejauhan, mulai dari Lereng Selatan di Bukit Plawangan-Turgo, Lereng Timur di daerah Deles Indah, Lereng Barat di Keteb Pass, dan akhirnya berkesempatan melihatnya dari Lereng Utara yaitu daerah Selo Boyolali. 

            Lereng Utara Selo Boyolali merupakan satu-satunya jalur pendakian menuju puncak Gunung Merapi. Jalan menuju puncak begitu berdebu di bulan November. Tanggal 1-2 November, awal bulan yang menjadi hari bersejarah bagi saya dapat menginjakkan kaki-kaki munggilku (haha) di Gunung Merapi.
            Saya dan sahabat saya Nurrohman EP, Mpok Ime (Fatimah), dan maz Bahdim (Irfan) memulai perjalanan dari New Selo sekitar jam 9 pagi. Perjalanan begitu menyesakkan dada, karena bedu terbangan dimana-mana, diinjak-injak oleh para pendaki. Ya meskipun begitu kami tidak menyerah. Beban yang ada dipundak menambah beratnya perjalanan namun pengamatan burung menjadi salah satu hal yang special disini, karena selain beristirahat kami bisa bertemu dengan Bentet kelabu (Lanius schach), Kecamata gunung (Zosterops montanus), Ceret gunung (Cettia vulcania), Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus), Anis Gunung (Turdus Poliocephalus) dan juga Elang alap Cina (Accipiter Soloensis) dan Alap-alap kawah (Falco peregrines) yang terbang cukup rendah. Burung-burung yang saya sebutkan itu burung yang umum ditemukan disana, dan dapat dilihat jarak dekat. Wahaha

Kacamata gunung

Anis gunung

            Jalur pendakian sangat beragam, mulai dari dengan kategori ringan, sedang, sampai berat ada di Gunung Merapi. Mulai dari jalan setapak biasa landai, sampai yang berbatu-batu curam, dan jalan berpasir curam bingit (menuju puncak). Setelah melewati Gerbang Batas Kawasan TNGM, Pos 1, Pos 2, akhirnya kami sampai di Pasar Bubraaaaahh.. dan kenapa namanya pasar bubrah?? Menurut versi arelleadventure.blogspot.com, itu karena beberapa tenda yang dibangun disana pada akhirnya akan bubrah dengan sendirinya, barang-barang menjadi mawut-mawut kena angin yang tiada henti bertiup kencang. 



            Pasar bubrah terletak tepat dibawah Puncak Merapi sudah tidak ada vegetasi tingkat tinggi, hanya ada paku-pakuan dan jenis tumbuhan tingkat rendah lainya. Kami membutuhkan waktu 8 jam untuk mencapainya. Hehe.. terlalu lama dan disini merupakan tempat nge-camp para pendaki sebelum menuju puncak. Dari sini dapat melihat gunung merbabu dan puncak merapi dengan begitu jelas. Dan Alhamdulillah walaupun belum sempat menginjakkan kaki di Puncak, namun akhirnya saya bisa melihat Puncak Gunung Merapi lebih dekat tidak hanya melihatnya dari kejauhan lagi seperti biasanya. Gunung yang sangat keren dan menakjubkan. 
Suatu hari nanti saya akan menuju Puncak Merapi ! 



29 May 2014

Anggunnya pesonamu….Ardeidae




Ardeidae merupakan salah satu nama family/keluarga burung. Famili Ardeidae memiliki ciri berkaki panjang, leher panjang, paruh panjang-lurus yang digunakan untuk mencotok ikan, vertebrata kecil, atau invertebrata.
Pertama kali yang membuat aku “kagum” melihat salah satu burung famili ini yaitu Cangak Laut (Ardea sumatrana) di Pulau Tanjung Bilik Baluran. Burung ini sangat besar sekitar 115 cm, berwarna abu-abu gelap, iris kuning, paruh kehitaman dan kaki abu-abu. Terbang melintas, mengepakkan sayap dengan anggun. Aku tertegun sesaat,…. menikmati indah gerakkannya. Menurut MacKinnon dkk, burung ini biasanya terlihat berjalan sendirian disepanjang pantai (memburu ikan) atau ditepian sungai. Aku selalu melihatnya ketika akan meninggalkan suatu tempat, burung ini selalu mengantar kepulanganku :) dia sangat mengagumkan…


Selain Cangak Laut yang baisanya ditemui disekitar laut, ada juga burung dari famili ini yang tinggal ditengah kota seperti burung Cangak Abu, Koak Malam-kelabu di Kehutanan UGM atau di sawah seperti Kuntul kecil, Kuntul besar, dll.

Kita mulai dari Cangak Abu (Aredea cinerea), burung ini berukuran besar 92 cm, berwarna putih, abu-abu, dan hitam (MacKinnon, dkk, 2010). Sering terlihat terbang dilangit sekitar UNY-UGM, banyak burung ini dapat ditemukan diatas pohon Hutan UGM. Selain itu, burung ini juga sering saya temukan di Pantai Trisik, Kulon Progo. Burung ini kelihatan mampu beradaptasi dalam berbagai kondisi yak… hehe.



















Cangak merah


Kemudian ada sahabatnya, yaitu Cangak Merah (Ardea purpurea), hampir mirip dengan Cangak Abu, namun warnanya coklat keoranyean. Jarang terlihat di langit Yogyakarta, susah ditemukan juga di Pantai Trisik. Menurut IUCN burung ini berstatus LC atau Least Concern atau bahasa lainnya kurang diperhatikan/ data kurang, adududu kasihan sekali burung ini. 












Beralih ke kerabatnya yang lain, yaitu Kuntul besar, Kuntul kecil, Kuntul Cina dan Kuntul kerbau. Pertama kali mempelajari detail burung-burung ini ketika di kampus ITS Surabaya bersama EP, dan Panji. Selama jadi anggota Bionic, burung ini selalu dicuekin tapi ternyata mereka begitu unik, sayang sekali bila dilewatkan :D

Kuntul besar (Egretta alba) berukuran 95 cm, berbulu putih bersih, pada masa tidak berbiak, kulit muka kekuningan, paruh hitam, ciri khasnya paruh seperti melebihi belakang mata (kayak sobek gitu deh paruhnya), kaki dan tungkai hitam. Menurut MacKinnon dkk, ketika masa berbiak, kulit muka biru-hijau tidak berbulu, paruh hitam, bagian paha merah tidak berbulu, dan kaki hitam, tapi aku belum pernah melihat fase berbiaknya. Perbedaannya dengan Kuntul kecil (Egretta garzetta), tentunya dilihat dari ukurannya (60 cm) yang berbeda jauh, paruh dan kaki berwarna sama-sama berwarna hitam. Cirinya ketika masa berbiak, bulu tengkuk memanjang tipis seperti memiliki rambut yang dikucir :D selain itu bulu punggung dan dada lebih panjang berjuntai. 
Kuntul kecil
Kuntul besar
 
Aaa yaya, mereka sangat berbeda… tapi bagaimana dengan Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) yang hampir mirip dengan Kuntul kecil. Eiitts… jangan salah… jika diperhatikan dengan baik-baik mereka memiliki perbedaan. Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) memiliki tubuh yang lebih tegap (50 cm), leher lebih pendek, kepala lebih bulat, serta paruh lebih pendek dan tebal (MacKinnon, dkk, 2010). Selain itu, warna paruhnya kuning terang. Pada masa berbiak inilah yang membuatnya langsung ketahuan karena warna kepala, leher, dan dada berwarna jingga. Kelihatankan bedanya?
Kuntul kerbau
Kuntul kerbau berbiak
 
Tapi bagaimana dengan Kuntul Karang atau Kuntul Cina. Aaargh.. banyak sekaliii…
Tenang… kita bahas satu persatu. Setelah mengetahui beberapa jenis Kuntul diatas, akan lebih mudah mengenali kedua jenis burung ini.
Kuntul karang (Egretta sacra) ukurannya agak besar 58 cm. Memiliki dua fase warna, yaitu fase terang dan fase gelap. Pertama kali melihat burung ini dengan fase gelap di Pantai Sembukan Wonogiri, yang ditempuh selama 4 jam menggunakan sepeda motor dari Jogja. Fase gelap menurut MacKinnon lebih umum ditemui, dan mudah dikenali karena berwarna abu-abu arang. Namun jika bertemu dengan fase terangnya bagaimana dong??? Tenang aja toh…. Warna kakinya itu sedikit kehijauan dan terlihat lebih pendek, kemudian paruhnya berwarna kuning pucat kayak pudar gitu deh…
Kuntul karang
by Aji Nugroho

Kuntul karang
by Aji Nugroho


Kuntul Cina (Egretta eulophotes), sebenarnya hanya satu kali pernah tercatat di Pulau Jawa (MacKinnon, dkk 2010) tapi tak apalah... kuntul ini (68 cm) berbulu putih, memiliki dua warna paruh pangkal bawah kuning ujung hitam. Mirip dengan Kuntul karang, kakinya berwarna kuning kehijauan, namun perbedaannya kaki Kuntul Cina lebih panjang. Ciri khasnya yang lain mungkin jika telah terbiasa melihat berbagai jenis Kuntul, akan terlihat bahwa paruhnya lebih runcing dibandingkan Kuntul lain. 
Kuntul Cina
© Patrik Jonasson
Tinggal beberapa lagi yang inginku bahas mengenai anggota Famili ini… yaitu Kowak-malam Abu yang sempat membuatku bingung membedakannya dengan Kokokan laut. Kemudian sanak saudara Bambang, yaitu Bambangan merah, Bambangan kuning, Bambangan coklat, dan Bambangan hitam. Dan burung-burung lainnya… Hehe tunggu edisinya di Keluarga Ardeidae yang Unik :)
Terimakasih dan Semoga Bermanfaat….

10 May 2014

Perjalanan menuju Ujung Barat Pulau Jawa


Perjalanan menuju Ujung Kulon merupakan perjalanan yang panjang dan penuh perjuangan. Perlu diperhatikan bahwa menggunakan tas yang nyaman untuk membawa barang Anda, agar tidak menjadi beban.
Oke.. perjalanan kami mulai ber-9 (aku, eky, epe, abid, maz praja, hasbi, panji, maz adin, maz kholil) dari Yogyakarta kota Berhati Nyaman dengan menggunakan kereta dengan tujuan Stasiun Pasar Senen Jakarta.
Kami berangkat dengan kereta dari Jogja 18 April 2014 jam 6 sore sampai Jakarta 19 April 2014 jam 3 pagi. Setelah itu kami langsung keluar dari stasiun menuju Masjid disekitar sana untuk sholat dan berisirahat. Setelah subuh, kami melanjutkan perjalanan ke Halte Trans Jakarta jalan kaki. Disinilah fisik kami dipacu untuk berjuang lebih keras, berjalan menuju Halte cukup jauh, belum lagi harus menaiki tangga Halte. Huhah….mantapaz..
Naik Trans Jakarta (TJ) dua kali dengan biaya Rp.3000,- per orang sampai Halte Harmoni. Yeye merasakan naik Trans Jakarta, Epe sempat merasa mual, hehe. Disini kami terpisah jadi dua, karena cepatnya buka menutupnya pintu TJ tapi bertemu lagi di Halte Harmoni.
Setelah itu, jalan kaki menuju Stasiun Kebayoran Lama, dari sana kami akan naik kereta Rp.5000,- per orang sampai ke Serang Banten. Kereta kelas ekonomi, dengan tempat duduk acak seperti Kereta Ekonomi jaman dahulu. Dari sini maz Khaerul bergabung naik kereta, lengkaplah tim Ekspedisi manjadi 10 orang. Naik kereta ini memakan waktu sekitar 3-4 jam. 
Naik Bus Murni
Naik Angkot
Lalu setelah turun dari kereta, kami naik angkot menuju Terminal dengan biaya Rp30.000,- u/ 10 orang. Tanpa istirahat kami langsung naik Bus Murni dengan tujuan Labuhan dengan biaya Rp20.000,- per orang, perjalanan ini juga memakan waktu kurang lebih 3 jam. Setelah sampai terminal kecil Labuhan, bertepatan dengan waktu Dhuhur setempat, kami naik angkot lagi untuk menuju ke Balai Tanaman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan biaya Rp40.000,- u/ 10 orang dan barang-barang.
Haaah bisa bernafas sedikit lega setelah kami sampai di Balai TNUK sekitar jam 2 siang. Dan hari itu kami menginap semalam disana.
Hari telah berganti, 20 April 2014, pagi hari kami berbelanja bekal sayur-mayur untuk menjaga kebutuhan serat ketika dilapangan. Setelah sarapan, jam 09.00 WIB kami berangkat menuju Tamanjaya mengunakan angkot charter-an seharga Rp500.000,-. Perjalanan ini memakan waktu 4-5 jam, karena kondisi jalan bisa dikatakan sangat buruk untuk dilewati. Padahal sepanjang perjalanan pemandangan begitu eksotik, menyusuri pantai Selat Sunda, dan dari angkot dapat melihat Gunung Krakatau dan anaknya yang begitu gagah. 
Sampai di Tamanjaya, kami menginap semalam sebelum nantinya menuju Pulau Handeuleum 21 April 2014 jam 1 siang, dengan menggunakan Kapal (cerita diedisi “Pulau Handeuleum TN Ujung Kulon”).
Labuhan-Tamanjaya
Labuhan-Tamanjaya
Labuhan-Tamanjaya