29 May 2014

Anggunnya pesonamu….Ardeidae




Ardeidae merupakan salah satu nama family/keluarga burung. Famili Ardeidae memiliki ciri berkaki panjang, leher panjang, paruh panjang-lurus yang digunakan untuk mencotok ikan, vertebrata kecil, atau invertebrata.
Pertama kali yang membuat aku “kagum” melihat salah satu burung famili ini yaitu Cangak Laut (Ardea sumatrana) di Pulau Tanjung Bilik Baluran. Burung ini sangat besar sekitar 115 cm, berwarna abu-abu gelap, iris kuning, paruh kehitaman dan kaki abu-abu. Terbang melintas, mengepakkan sayap dengan anggun. Aku tertegun sesaat,…. menikmati indah gerakkannya. Menurut MacKinnon dkk, burung ini biasanya terlihat berjalan sendirian disepanjang pantai (memburu ikan) atau ditepian sungai. Aku selalu melihatnya ketika akan meninggalkan suatu tempat, burung ini selalu mengantar kepulanganku :) dia sangat mengagumkan…


Selain Cangak Laut yang baisanya ditemui disekitar laut, ada juga burung dari famili ini yang tinggal ditengah kota seperti burung Cangak Abu, Koak Malam-kelabu di Kehutanan UGM atau di sawah seperti Kuntul kecil, Kuntul besar, dll.

Kita mulai dari Cangak Abu (Aredea cinerea), burung ini berukuran besar 92 cm, berwarna putih, abu-abu, dan hitam (MacKinnon, dkk, 2010). Sering terlihat terbang dilangit sekitar UNY-UGM, banyak burung ini dapat ditemukan diatas pohon Hutan UGM. Selain itu, burung ini juga sering saya temukan di Pantai Trisik, Kulon Progo. Burung ini kelihatan mampu beradaptasi dalam berbagai kondisi yak… hehe.



















Cangak merah


Kemudian ada sahabatnya, yaitu Cangak Merah (Ardea purpurea), hampir mirip dengan Cangak Abu, namun warnanya coklat keoranyean. Jarang terlihat di langit Yogyakarta, susah ditemukan juga di Pantai Trisik. Menurut IUCN burung ini berstatus LC atau Least Concern atau bahasa lainnya kurang diperhatikan/ data kurang, adududu kasihan sekali burung ini. 












Beralih ke kerabatnya yang lain, yaitu Kuntul besar, Kuntul kecil, Kuntul Cina dan Kuntul kerbau. Pertama kali mempelajari detail burung-burung ini ketika di kampus ITS Surabaya bersama EP, dan Panji. Selama jadi anggota Bionic, burung ini selalu dicuekin tapi ternyata mereka begitu unik, sayang sekali bila dilewatkan :D

Kuntul besar (Egretta alba) berukuran 95 cm, berbulu putih bersih, pada masa tidak berbiak, kulit muka kekuningan, paruh hitam, ciri khasnya paruh seperti melebihi belakang mata (kayak sobek gitu deh paruhnya), kaki dan tungkai hitam. Menurut MacKinnon dkk, ketika masa berbiak, kulit muka biru-hijau tidak berbulu, paruh hitam, bagian paha merah tidak berbulu, dan kaki hitam, tapi aku belum pernah melihat fase berbiaknya. Perbedaannya dengan Kuntul kecil (Egretta garzetta), tentunya dilihat dari ukurannya (60 cm) yang berbeda jauh, paruh dan kaki berwarna sama-sama berwarna hitam. Cirinya ketika masa berbiak, bulu tengkuk memanjang tipis seperti memiliki rambut yang dikucir :D selain itu bulu punggung dan dada lebih panjang berjuntai. 
Kuntul kecil
Kuntul besar
 
Aaa yaya, mereka sangat berbeda… tapi bagaimana dengan Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) yang hampir mirip dengan Kuntul kecil. Eiitts… jangan salah… jika diperhatikan dengan baik-baik mereka memiliki perbedaan. Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) memiliki tubuh yang lebih tegap (50 cm), leher lebih pendek, kepala lebih bulat, serta paruh lebih pendek dan tebal (MacKinnon, dkk, 2010). Selain itu, warna paruhnya kuning terang. Pada masa berbiak inilah yang membuatnya langsung ketahuan karena warna kepala, leher, dan dada berwarna jingga. Kelihatankan bedanya?
Kuntul kerbau
Kuntul kerbau berbiak
 
Tapi bagaimana dengan Kuntul Karang atau Kuntul Cina. Aaargh.. banyak sekaliii…
Tenang… kita bahas satu persatu. Setelah mengetahui beberapa jenis Kuntul diatas, akan lebih mudah mengenali kedua jenis burung ini.
Kuntul karang (Egretta sacra) ukurannya agak besar 58 cm. Memiliki dua fase warna, yaitu fase terang dan fase gelap. Pertama kali melihat burung ini dengan fase gelap di Pantai Sembukan Wonogiri, yang ditempuh selama 4 jam menggunakan sepeda motor dari Jogja. Fase gelap menurut MacKinnon lebih umum ditemui, dan mudah dikenali karena berwarna abu-abu arang. Namun jika bertemu dengan fase terangnya bagaimana dong??? Tenang aja toh…. Warna kakinya itu sedikit kehijauan dan terlihat lebih pendek, kemudian paruhnya berwarna kuning pucat kayak pudar gitu deh…
Kuntul karang
by Aji Nugroho

Kuntul karang
by Aji Nugroho


Kuntul Cina (Egretta eulophotes), sebenarnya hanya satu kali pernah tercatat di Pulau Jawa (MacKinnon, dkk 2010) tapi tak apalah... kuntul ini (68 cm) berbulu putih, memiliki dua warna paruh pangkal bawah kuning ujung hitam. Mirip dengan Kuntul karang, kakinya berwarna kuning kehijauan, namun perbedaannya kaki Kuntul Cina lebih panjang. Ciri khasnya yang lain mungkin jika telah terbiasa melihat berbagai jenis Kuntul, akan terlihat bahwa paruhnya lebih runcing dibandingkan Kuntul lain. 
Kuntul Cina
© Patrik Jonasson
Tinggal beberapa lagi yang inginku bahas mengenai anggota Famili ini… yaitu Kowak-malam Abu yang sempat membuatku bingung membedakannya dengan Kokokan laut. Kemudian sanak saudara Bambang, yaitu Bambangan merah, Bambangan kuning, Bambangan coklat, dan Bambangan hitam. Dan burung-burung lainnya… Hehe tunggu edisinya di Keluarga Ardeidae yang Unik :)
Terimakasih dan Semoga Bermanfaat….

10 May 2014

Perjalanan menuju Ujung Barat Pulau Jawa


Perjalanan menuju Ujung Kulon merupakan perjalanan yang panjang dan penuh perjuangan. Perlu diperhatikan bahwa menggunakan tas yang nyaman untuk membawa barang Anda, agar tidak menjadi beban.
Oke.. perjalanan kami mulai ber-9 (aku, eky, epe, abid, maz praja, hasbi, panji, maz adin, maz kholil) dari Yogyakarta kota Berhati Nyaman dengan menggunakan kereta dengan tujuan Stasiun Pasar Senen Jakarta.
Kami berangkat dengan kereta dari Jogja 18 April 2014 jam 6 sore sampai Jakarta 19 April 2014 jam 3 pagi. Setelah itu kami langsung keluar dari stasiun menuju Masjid disekitar sana untuk sholat dan berisirahat. Setelah subuh, kami melanjutkan perjalanan ke Halte Trans Jakarta jalan kaki. Disinilah fisik kami dipacu untuk berjuang lebih keras, berjalan menuju Halte cukup jauh, belum lagi harus menaiki tangga Halte. Huhah….mantapaz..
Naik Trans Jakarta (TJ) dua kali dengan biaya Rp.3000,- per orang sampai Halte Harmoni. Yeye merasakan naik Trans Jakarta, Epe sempat merasa mual, hehe. Disini kami terpisah jadi dua, karena cepatnya buka menutupnya pintu TJ tapi bertemu lagi di Halte Harmoni.
Setelah itu, jalan kaki menuju Stasiun Kebayoran Lama, dari sana kami akan naik kereta Rp.5000,- per orang sampai ke Serang Banten. Kereta kelas ekonomi, dengan tempat duduk acak seperti Kereta Ekonomi jaman dahulu. Dari sini maz Khaerul bergabung naik kereta, lengkaplah tim Ekspedisi manjadi 10 orang. Naik kereta ini memakan waktu sekitar 3-4 jam. 
Naik Bus Murni
Naik Angkot
Lalu setelah turun dari kereta, kami naik angkot menuju Terminal dengan biaya Rp30.000,- u/ 10 orang. Tanpa istirahat kami langsung naik Bus Murni dengan tujuan Labuhan dengan biaya Rp20.000,- per orang, perjalanan ini juga memakan waktu kurang lebih 3 jam. Setelah sampai terminal kecil Labuhan, bertepatan dengan waktu Dhuhur setempat, kami naik angkot lagi untuk menuju ke Balai Tanaman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan biaya Rp40.000,- u/ 10 orang dan barang-barang.
Haaah bisa bernafas sedikit lega setelah kami sampai di Balai TNUK sekitar jam 2 siang. Dan hari itu kami menginap semalam disana.
Hari telah berganti, 20 April 2014, pagi hari kami berbelanja bekal sayur-mayur untuk menjaga kebutuhan serat ketika dilapangan. Setelah sarapan, jam 09.00 WIB kami berangkat menuju Tamanjaya mengunakan angkot charter-an seharga Rp500.000,-. Perjalanan ini memakan waktu 4-5 jam, karena kondisi jalan bisa dikatakan sangat buruk untuk dilewati. Padahal sepanjang perjalanan pemandangan begitu eksotik, menyusuri pantai Selat Sunda, dan dari angkot dapat melihat Gunung Krakatau dan anaknya yang begitu gagah. 
Sampai di Tamanjaya, kami menginap semalam sebelum nantinya menuju Pulau Handeuleum 21 April 2014 jam 1 siang, dengan menggunakan Kapal (cerita diedisi “Pulau Handeuleum TN Ujung Kulon”).
Labuhan-Tamanjaya
Labuhan-Tamanjaya
Labuhan-Tamanjaya

09 May 2014

Cici Rusa Handeuleum



Setiap hari belasan rusa pasti menjadi pemandangan didepan rumah panggung kami. Rusa-rusa itu merumput setiap pagi, siang, sore dan malam hari. Ada rusa yang spesial, bernama Cici, dia adalah salah satu rusa dari puluhan rusa yang ada di Pulau Handeuleum. Cici rusa yang sangat ramah dengan pengunjung, dia baik hati dan tidak sombong. Dia selalu menemani kami, terutama ketika kami sedang memasak dan makan. Menyenangkan sekali ketika memanggil namanya Cicih! Cicih! Haha memiliki kesan hiburan tersendiri karena dia tau kalo itu namanya.
Memberi makan Cici itu sudah biasa, maka dari itu maz Praja mencoba hal yang tidak biasa, yaitu ciuman sama Cici….. hiii…. :D
Cici suka makan kelapa muda, suka makan telo, suka makan wortel, kol, kobis, bahkan pernah makan ikan asiin ??? :O
Cici itu rajin bersih-bersih, tapi lebih rajin lagi Macaca (monyet ekor panjang) yang ada disana, maka dari itu tidak ada yang namanya ceceran makanan.
Cici tidak suka sayur asem mlinjo (Gnetum gnemon) hmmm… dan takut sama maz Adin.
Pokoknya Cici itu sangat lucu, tapi Cici tetaplah rusa liar, rusa liar yang ramah :D
Cici perutnya endut, mungkin sedang mengandung anaknya Coco satu-satunya rusa jantan yang terlihat. Meski Coco tidak seramah Cici tapi mereka pasangan yang serasi. Hehe


Rusa timorensis
Ini dia si Cantik Cici :D

08 May 2014

Pulau Handeuleum TN.Ujung Kulon



Dikelilingi laut biru tenang mendayu lembut…  itulah Pulau Handeuleum.
Pulau Handeuleum adalah salah satu pulau yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon. Terletak 15 km dari Resort Tamanjaya, dapat dicapai menggunakan kapal selama kurang lebih 20 menit. Mencapai Resort Tamanjaya tidaklah mudah, diperluhkan perjalanan yang panjang, bergelombang, berliku dan berduit (cerita diedisi “Perjalanan menuju Ujung Barat Pulau Jawa”). Waktu itu tanggal 21 April 2014, kami bersepuluh berangkat menggunakan Kapal Nelayan. Ada dua jenis kapal di Ujung Kulon yang sering disebut Badak dan Buaya. Kapal Buaya muat untuk belasan orang, sedangkan Kapal Badak adalah kapal kecil atau nama lainnya cano, biasa digunakan wisatawan untuk canoing di muara sungai Cigenter. Nah waktu itu kami berangkat dengan Kapal Nelayan lebih besar lagi dari Kapal Buaya.

Kapal Nelayan


Kapal Buaya

Kapal Badak / Cano
Kapal terus melaju menerjang ombak yang tenang, sampailah mata ini tertuju pada sebuah dermaga, dermaga Pulau Handeuleum. 

Dermaga Pulau Handeuleum

Halaman Pulau Handeuleum
Setelah menginjakkan kaki pertama kali di pulau ini, saya merasa bergetar.. halah.. melangkahkan kaki beberapa ratus meter dengan membawa barang yang bikin pothok, dari kejauhan melihat sebuah rumah berlantai 2. Waao… tapi kami berjalan melewatinya… kemudian pandangan berubah menjadi pepohonan kelapa dibawahnya rumput hijau dan rusa-rusa (Rusa timorensis) sedang merumput (cerita diedisi “Cici Rusa Handeuleum”). Barulah pandangan tertuju pada rumah panggung sederhana dan terkesan tenang dan alami, dan disinilah kami tinggal :D
  


Rumah Panggung
21 April berjalan begitu cepat, malam harinya adalah acara pembagian bekal antara tim Cigenter dan tim Handeuleum. Tim Cigenter dengan personil gus Abid, Epe, Panji, Hasbi dan maz Kholil akan berangkat esok hari, dengan segala ketidaktahuan keadaan yang ada disana, mereka berangkat bersama seorang Ranger yang akan memandu mereka selama 7 hari, beliau bernama Pak Kani. Dan Tim Handeuleum dengan personil aku, Eky, maz Praja, maz Adin dan maz Khaerul akan bersama papi kami yaitu Mang Hendar akan berpetualang mengelilingi Pulau Handeuleum dan pulau-pulau lain yang ada disekitarnya :D